Ternyata, HAMKA di Masa Mudanya Nakal!
Siapa yang tak mengenal HAMKA? Lelaki Sumatera yang memiliki nama panjang H. Abdul Malik Karim Amrullah. Dia penulis novel bersejarah itu, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Dirinya selain dikenal sebagai pujangga juga sebagai ulama kontemporer. Orangnya sangat berkharisma dan petuah-petuahnya sering didengar oleh umat Islam.
Tapi siapa sangka, ternyata, di masa mudanya dia adalah anak yang sangat nakal. Mohammad Zein Hasan, teman Hamka semasa kecil di kampunya, menulis “Segi Kehidupan Hamka Yang Tak Dikenal (1978).”
Dalam tulisan itu diceritakan bagaimana kenakalan HAMKA saat masih muda. HAMKA pernah diarahkan untuk mengaji oleh ayahnya, H. A. Karim Amrullah, seorang tokoh agama dan masyarakat yang kesohor dan disegani di sepanjang daerah Minangkabau. Dia mengaji di Madrasah Diniyah asuhan Zainuddin Labay Alyunusi, di Padang Panjang dan juga di Sumatera Thawalib, sekolah agama yang dipimpin ayahnya sendiri.
Selama berada di dua sekolah itu, Hamka bukan menjadi anak yang rajin, patuh, dan pendiam. Tapi malah sebaliknya. Dia menjadi santri yang sangat tidak jelas.
Memang, dia tidak bolos sekolah. Tapi dia masuk ke kelas manapun yang dia sukai. Dia tak mempertimbangkan tingkatan kelas. Asal mau ke mana dia masuk, di kelas itu lah HAMKA ada. Guru-guru tak ada yang berani menegurnya karena masih melihat ayahnya.
Karena kelakuan Hamka yang tak jelas itu, ayahnya marah. Dia mengirim Hamka ke Syeikh Ibrahim Musa, ulama besar di Sumatera yang memimpin sekolah “Sumatera Thawalib” di Parabek, Bukittinggi. Harapan ayahnya, di sekolah ini Hamka setidaknya bisa berubah.
Boro-boro bisa berubah. Kenalakan dia malah tambah menjadi-jadi. Dia bukan hanya tidak sekolah, melihat selembar halaman buku pun sangat enggan. Dia benar-benar menjauh dari dunia pendidikan yang diharapkan ayahnya.
Karena dari begitu kesalnya, ayahnya ‘pun menyerah. Membiarkan Hamka sekalian mau bertindak seperti apa.
Karena sudah merasa diberikan kebebasan, Hamka betul-betul menjadi anak muda yang sangat nakal. Dari pada sekolah, dia lebih suka bermain. Permainanya yang dia sukai di antaranya adalah, pertama menenteng-nenteng ayam tarung. Dia rupanya sangat gemar adu ayam.
Tulis Zein Hasan, HAMKA pernah “berfoto sebagai penyabung. Baju teluk belanga, celana galembong, destar hitam, sarung bugia disandang miring dan ayam kinantan dipangku dengan mata menantang.” Begitu ‘lah Zein menggambarkan HAMKA saat masih hobi mengadu ayam.
Kedua, selain adu ayam, dia juga suka permainan sepak bola. Tapi unik, dia tak suka menjadi pemain. Dia lebih suka menjadi wasit. Berhari-hari HAMKA menghabiskan waktunya hanya untuk menjadi wasit sepak bola.
Ketiga, setelah puas dengan hobinya mengadu ayam dan sebagai wasit sepak bola, dia beralih ke permainan lain. Dia memilih permainan yang tak kalah ekstrim, yakni pacu kuda.
Keempat, pancak silat. Sebagai anak muda, rasanya belum lengkap bagi dia kalau tidak belajar ilmu bela diri. Kebetulan ayahnya memang selain sebagai tokoh masyarakat, juga dikenal sebagai ahli bela diri Minangkabau.
Tapi namanya HAMKA muda, belajar pencak silat bukannya untuk menjaga diri tapi malah buat yang bukan-bukan. Baru beberapa kali belajar pencak silat, bahkan belum sampai “langkah empat,” dia sudah membuat masalah. Dia gunakan ilmu pencak silatnya itu buat memukul orang.
Semenjak belajar pencak silat, terhitung dua kali dia terlibat perkelahian yang cukup menegangkan. Sebab dia bertarung menggunakan pisau.
Pada perkelahian yang kedua kali HAMKA jatuh. “Saya melihat dengan mata saya sendiri, si Malik (HAMKA, maksudnya) tergelimpang berlumuran darah akibat perkelahian dengan pisau itu,” tulis Zein Hasan.
Dia baru insaf setelah nasib buruk menimpanya di tambang emas Sungai Landai, Sumatera Selatan. Karena malu untuk pulang ke rumahnya, dia merantau ke Sumatera Selatan dan tinggal di tambang emas.
Selama berada di sana, HAMKA terkena musibah. Dia diserang penyakit cacar. Selama sakit, dia mulai merenungkan siapa dirinya dan bagaimana ke depannya.
Setelah penyakitnya sembuh dengan bekas cacar yang masih ada, dia pulang ke rumahnya. Sejak itu, dia betul-betul insaf. Dan, kemudian dia tumbuh dewasa menjadi putra Karim Amrullah yang membanggakan. Bukan hanya membanggakan keluarganya, tetapi juga segenap bangsa.